BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Suatu uraian
tentang perkembangan hukum laut internasional sesudah Perang Dunia ke II tidak
akan lengkap tanpa menguraikan usaha dan tindakan-tindakan indonesia di bidang
ini.
Langkah-langkah
yang telah diambil oleh indonesia di bidang ini merupakan suatu konsekuensi
yang wajar daripada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 dan merupakan suatu tindakan pelengkap daripadanya di bidang hukum
laut.
Jalan yang telah
di tempuh Indonesia di bidang hukum laut ini dengan tegas dan jelas menunjukkan
bahwa Republik Indonesia yang dilahirkan pada saat proklamasi kemerdekaan itu,
bukan sekedar negara lanjutan pewaris Hindia-Belanda dan bukan pula negara
bikinan pemerintah pendudukan militer Jepang.
Usaha dan
tindakan kita di bidang hukum laut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai
keinginan dan pikiran sendiri, sebagai pernyataan (manifestasi) daripada
aspirasi suatu bangsa yang nasib dan kebesarannya tidak bisa dipisahkan dari
laut.
a.
Tujuan
Dalam paper ini mahasiswa diharapkan
mampu menjelaskan tentang perkembangan Hukum Laut Internasional di Indonesia.
b.
Rumusan
Masalah :
1. Bagaimana
awal mula dari perkembangan Hukum Laut Internasional di Indonesia?
2. Bagaimana
tentang penerapan peraturan pelaksanaan tentang hal lalu lintas damai
kendaraanair asing?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya
konsepsi nusantara : Deklarasi 13 Desember 1957
Pada tanggal 13
Desember 1957 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan (
Deklarasi) mengenai wilayah perairan Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :
“ Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau
atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan
tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada
wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian
daripada perairan nasional yang berrada di bawah kedaulatan mutlak daripada
Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas yang
damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial
yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan
titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan
ditentukan dengan Undang-undang”.[1]
Pertimbangan-pertimbangan
yang mendorong pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peryataan mengenai
wilayah perairan Indonesia adalah :
(1) Bahwa
bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri
dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan
pengaturan tersendiri ;
(2) Bahwa
bagi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia semua kepulauan
serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang
bulat ;
(3) Bahwa
penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah kollonial
sebagaimana termaktub dalam “Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie
1939” pasal 1 ayat (1)tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan
keamanan negara Republik Indonesia ;
(4) Bahwa
setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan
keselamatan negaranya.
Perlu dikemukakan
bahwa pada waktu pernyataan pemerintah mengenai wilayah Perairan Indonesia ini
dikeluarkan negara kita sedang menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam.
Dari luar karena sengketa dengan belanda mengenai Irian Jaya (Irian Barat pada
waktu itu) sedang memuncak setelah dialami kegagalan untuk menyelesaikannya
dengan jalan damai ; dari dalam karena negara diancam oleh gerakan-gerakan
separatis didaerah-daerah yang kemudian menjelma menjadi pemberontakan.
Pernyataan
pemerintah mengenai wilayah Perairan Indonesia ini merupakan suatu peristiwa
yang penting dan menentukan dalam usaha pemerintah untuk meninjau kembali dan
merobah cara penetapan batas laut teritorial yang telah diusahakannya sejak
pertengahan tahun 1956 dengan membentuk suatu panitia Interde parlemental untuk
meninjau kembali masalah laut teritorial dan lingkungan maritim.[2]
Walaupun pernyataan pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia bukan
merupakan hasil kerja panitia tersebut di atas. Setelah dinyatakan maka
konsepsi dan materi isi pernyataan ini diserahkan kepada panitia untuk
dijadikan dasar pekerja selanjutnya. Panitia sendiri sesungguhnya telah
menyiapkan suatu rencana undang-undang perairan wilayah untuk menggantikan
batas lebar 3 mil yang lama dengan merobah batas lebar 3 mil menjadi 12 mil terhitung
dari garis pasang surut. Dengan diterimaa dan dinyatakannya deklarasi
tanggal 13 Desember 1957 oleh pemerintah maka dengan sendirinya konsepsi
panitia yang resmi itu ditinggalkan.
Dari teks
pernyataan Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 maupun pertimbangan yang menjadi
dasar tindakan tersebut jelas kiranya bahwa segi keamanan dan pertahanan
merupakan aspek yang penting sekali bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu
sendi pokok daripada kebijaksanaan Pemerintah mengenai perairan Indonesia ini.
Di samping itu
sendi pokok lainnya yaitu menjamin integritas teritorial daripada wilayah
negara Indonesia sebagai satu kesatuan yang bulat yang meliputi unsur tanah
(darat) dan air (laut) menggambarkan segi politik yang tidak kurang pentingnya.
Di dalam
menghadapi situasi yang diancam disintegrasi politik karena gerakan-gerakan
separatisme dan pemberontakan, pemerintah pada waktu itu membutuhkan suatu
konsepsi yang dapat secara jelas, nyata dan mungkin dijadikan simbol daripada
kesatuan dan persatuan bangsa dan negara Indonesia. Konsepsi nusantara
sebagaimana dirumuskan dalam pernyataan pemerintah 13 Desember 1957 memenuhi
kebutuhan ini.
Setelah
menjelaskan arti konsepsi nusantara dan pertimbangan-pertimbangan yang
mendorong pemerintah mengeluarkan Deklarasi 13 Desember 1957, yang kemudian
dikenal juga dengan Deklarasi Djuanda, baiklah dijelaskan akibat konsepsi
nusantara ini dalam arti kewilayahan serta akibat-akibatnya.
Deklarasi ini
yang menjadikan “ segala perairan diantara dan di sekitar pulau-pulau “ bagian
dari wilayah nasional mempunyai akibat hukum yang penting bagi pelayaran
internasional karena bagian laut lepas (high seas) yang tadinya bebas (free)
dengan tindakan pemerintah Indonesia ini (hendak) dijadikan bagian wilayah
nasional. Mengingat bahwa kita tidak bisa begitu saja meniadakan kebebasan
berlayar di perairan-perairan demikian yang telah ada sejak zaman dahulu, maka
Deklarasi 13 Desember 1957 dengan tegas menyatakan bahwa”.....lalu lintas
kapal-kapal asing melalui perairan Indonesia dijamin selama tidak merugikan
keamanan dan keselamatan negara Indonesia”.
Dengan demikian
jelas kiranya bahwa hak lintas damai (the right of innocent passage)
kapal-kapal asing merupakan bagian yang tak terpisahkan (integral part) dari
konsepsi nusantara. Hal ini sengaja dibuat demikian untuk mengurangi tantangan
terhadap konsepsi nusantara ini terutama dari negara-negara mqaritim. Dengan
adanya jaminan hak lintas damai melauli perairan nusantara ini, maka diusahakan
adanya keseimbangan antara kepentingan nasional Indonesia yang berwujud
perluasan wilayah dengan dijadikannya perairan nusantara (antar pulau) itu
perairan nasional, dan kepentingan pelayaran internasional yang berkepentingan
agar lalu lintas kapal melelui perairan
tadi untuk maksud-maksud damai dapat berlangsung terus tanpa gangguan.
Tidak lama
setelah Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan beberapa negara
menyatakan tidak mengakui klaim Indonesia atas perairan di sekitar dan di
antara pulau-pulaunya. Di antara negara-nagara yang menyatakan tidak setuju
antara lain terdapat Amerika Serikat, Australia, Inggris, Nederland, dan New
Zealand sedangkan yang menyatakan menyokong hanya USSRdan RRC. Mengingat reaksi
yang negatif daripada banyak negara demikian pemerintahj menganggap bijaksana
untuk menangguhkan pengundangan wilayah perairan Indonesia menurut konsepsi
nusantara. Sebab lain daripada penangguhan pengundangan adalah akan diadakannya
Konferensi Hukum Laut di Geneva mulai Februari 1958. Dirasakan baik untuk
melihat lebih dulu reaksi dunia umum di forum tersebut sebelum menuangkan
konsepsi nusantara itu dalam bentuk undang-undang.
Usaha untuk
memperoleh pengakuan bagi pengaturan laut wilayah yang didasarkan atas konsepsi
archipelago melalui forum internasional yaitu Konferensi Hukum Laut di Jenewa
di tahun 1958 tidak membawa hasil yang diharapkan karena negara peserta yang
langsung berkepentingan dan menaruh perhatian terhadap masalah initerlalu kecil
jumlahnya.
Usul-usul
Filipina dan Yugoslavia mengenai pasal yang mengatur “archipelago” terpaksa
ditarik kembali. Konferensi berpendapat bahwa masih terlalu sedikit diketahui
tentang soal archipelago ini dan bahwa masalahnya :..... masih perlu dipelajari
lebih lanjut”.
Walaupun
demikian usaha tersebut di atas cukup penting untuk dicatat dalam sejarah
perkembangan hukum internasional, karena merupakan kejadian pertama diajukannya
konsepsi negara kepulauan di suatu konferensi hukum internasional secara resmi.
Hingga saat itu konsepsi negara kepulauan baru merupakan suatu konsepsi
akademis belaka.
Selain
sebagai suatu gelanggang (forum) untuk
memperoleh pengakuan internasional bagi konsepsi negara kepulauan, Konferensi
Hukum Laut Jenewa juga telah digunakan oleh Indonesia untuk Memperkenalkan
konsepsi nasionalnya tentang negara kepulauan dengan jalan mengedarkan teks
bahasa inggris Undang-undang No. 4/Prp tahun 1960 pada Konferensi tahun 1960
yang kemudian dimuat dalam dokumen Sekretariat konferensi.
Kemungkinan
berlangsungnya perkembangan konsepsi archipelago dalam hukum internasional
diamankan oleh Delegasi Indonesia bersama-sama dengan delegasi Canada dengan
menggagalkan usaha peserta konferensi lain untuk mengadakan pembatasan terhadap
panjangnya garis pangkal.
Dengan tidak
adanya keputusan mengenai soal archipelago di Konferensi Hukum Laut Jenewa
tahun 1958, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan : (1)meneruskan
pelaksanaan Deklarasi 13 Desember 1957 tentang Wilayah Perairan Indonesia yang
memandang seluruh kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan dengan mengundangkannya
dalam bentuk Undang-undang. Atau (2) meninggalkan kebijaksanaan (policy)
tentang Perairan Wilayah Indonesia yang telah digariskan dalam Deklarasi 13
Desember 1957 yang berarti kembali dalam konsepsi dan cara pengukuran laut
wilayah yang lama. Menurut konsepsi lama ini setiap pulau mempunyai laut wilayahnya sendiri-sendiri. Pemerintah
memutuskan untuk tetap pada kebijaksanaan yang digariskan dalam Deklarasi 13
Desember 1957 dengan memperhitungkan situasi dan kondisi dalam menetapkan saat
mengindangkan konsepsi nusantara berupa undang-undang. Masih tetap
berlangsungnya keadaan yang mula-mula mendorong Pemerintah mengeluarkan
Deklarasi 13 Desember 1957 yakni usaha-usaha separatisme daerah dan tiadanya
perobahan sikap Belanda dalam sengketa mengenai Irian Barat mengakibatkan bahwa
pertinmbangan dan faktor-faktor penyebab dan pendorong masih tetap berlaku.
Memuncaknya gerakan separatisme menjadi pemberontakan terbuka PRRI-Permesta dan
tambah memburuknya hubungan Indonesia-Belanda bahkan memperkuat alasan untuk
tidak meninggalkan kebijaksanaan di atas.
Pada saat itu
pengalaman dan keterangan yang diperoleh selama konferensi hukum laut jenewa
menampilkan suatu segi lain daripada konsepsi perairan nusantara yang hingga
saat itu kurang mendapat perhatian yakni segi
sumber kekayaan alam (resources aspect). Segi ini meliputi 2 sumber kekayaan
laut (marine resources) yaitu :
(1) Kekayaan
mineral ( mineral atau non-living resources)
(2) Kekayaan
hayati (living resources)
Pergantian
pimpinan Angkatan Laut menjelang tahun 1960 merupakan faktor lain yang
membantutambah baiknya iklim bagi pengundangan prinsip nusantara. Walaupun
menyadari kekurangan kekuatan Angkatan Laut untuk mempertahankan perluasan
wilayah perairan Indonesia jika perlu, pimpinan yang baru tidak menarik
kesimpulan dan mengambil siakp yang negatif karenanya terhadap konsepsi nusantara.
Jadi, dapat
diambil intisari tentang azas-azas pokok dari konsepsi nusantara sebagaimana
yang telah diundangkan dalam undang-undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia :
1. Untuk
kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik garis-garis
pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar ;
2. Negara
berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis-garis pangkal lurus
ini termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya maupun ruang udara diatasnya, dengan
segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
3. Jalur
laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur terhitung dari garis-garis
pangkal lurus ini;
4. Hak
lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara
(archipelagic watens) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai
dan mengganggu keamanan dan ketertibannya.
Bentuk dan
susunan Undang-undang No. 4/Prp tahun 1960 sangat sederhana dan hanya terdiri
dari 4 buah pasal. Undang-undang ini pada hakekatnya merobah cara penetapan
laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut ataugaris air rendah (low water line)
menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur
dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke ujung. Seluruhnya ada
200 titik pangkal yang dihubungkan oleh 196 buah garis pangkal lurus (straight
baselines) dengan jumlah panjang seluruhnya sebesar 8069,8 mil laut.
B.
Peraturan
pelaksanaan undang-undang No. 4/Prp tahun 1960 Peraturan Pemerintah No. 8 tahun
1962 tentang hal lalu lintas damai kendaraan air asing
Beberapa tahun
setelah diundangkan Undang-undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia dirasakan keperluannya, terutama oleh petugas-petugas di lapangan (di
laut) akan ketegasan daripada ketentuan hak lintas damai bagi kapal asing dalam
perairan nusantara yang pada pokoknya dijamin oleh UU No. 4/Prp tahun 1960
diatas.[3]
Karena itu pda tanggal 28 Juli1962
Pemerintah menetapkanPeraturan Pemerintah No. 8 tahun 1962 tentang lalu lintas
damaikendaraan asing dalam perairan Indonesia. Dalam pasal 1 ditentukan bahwa :
“lalu lintas damai kendaraan air asing di perairan pedalaman Indonesia yang
sebelum berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 1960 merupakan laut bebas atas
laut wilayah Indonesia dijamin”.
Yang dimaksud
dengan (lalu) lintas laut damai
adalah “.... pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut wilayah dan
perairan pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan
sebaliknya, dan dari laut bebas ke laut bebas” (pasal 2).
Lalu lintas kapal asing dianggap damai
selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan/
atau tidak mengganggu perdamaian Negara Republik Indonesia (pasal 3).
Lalu lintas
damai kapal asing dianjurkan untuk melalui alur-alur yang dicantumkan dalam
buku-buku kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran. Berhenti,
membuang sauh dan/ atau mondar-mandir tanpa alasan yang sah di perairan
Indonesia tidak termasuk pengertian lalu lintas damai menurut peraturan
pemerintah ini.
Presiden Republik Indonesia dapat
melarang untuk sementara waktu lalu lintas damai kendaraan air asing di bagian-bagian tertentu dari perairan
Indonesia apabila hal demikian dianggap perlu untuk menjamin kedaulatan dan
keselamatan negara.
Di samping
ketentuan tentang lintas damai kendaraan air asing yang bersifat umum di atas
Pengumuman Pemerintah No. 8 tahun 1962 ini memuat ketentuan-ketentuan yang
mengatur lintas damai kapal-kapal jenis
khusus yakni : (1) kapal penelitian (2) kapal nelayan (3) kapal-kapal
perang dan kapal pemerintah bukan kapal niaga.
Penelitian
Ilmiah oleh kapal asing di perairan Indonesia
memerlukan izin dari Presiden Republik Indonesia. Kapal-kapal perang asing yang hendak melekukan lalu lintas damai
melalui perairan Indonesia harus terlebih dahulu memberitahukannya kepada
Menteri/KSAL. Kapal selam dalam lintas damai harus berlayar di permukaan laut.
Yang menarik
perhatian adalah ketentuan mengenai alur-alur pelayaran. Apabila Kepala Staf
Angkatan Laut telah menetapkan alur-alur pelayaran demikian maka kapal perang
(dan kapal pemerintah bukan kapal niaga) dan kapal-kapal nelayan harus melalui alur-alur tersebut.
Kapal-kapal
perang asing yang melalui alur-alur pelayaran demikian tidak perlu memenuhi syarat pemberitahuan (notification) yang
berlaku bagi lintas damai di perairan nusantara. Hingga sekarang alur-alur
pelayaran yang dimaksud di atas belum pernah ditetapkan.[4]
Melihat
kenyataan praktek hingga sekarang dapat dikatakan bahwa pada umumnya
pelaksanaan ketentuan tentang hak lintas damai kapal asing ini cukup di patuhi.
Khususnya mengenai kapal perang asing dapat dikatakan bahwa ketentuan “notification”
(pemberitahuan) ini pada umumnya dipenuhi.
Hal ini
disebabkan selain berdasarkan pertimbangan politis, yaitu untuk tetap
memelihara hubungan baik dengan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang
tidak bersahabat, disebabkan pula oleh sangat luwesnya syarat pemberitahuan
(notification) kita. Dengan tidak adanya syarat-syarat yang kaku yang harus
dipenuhi. Maka keberatan untuk memberikan “notification” itu menjadi jauh lebih
berkurang.
Kesulitan sering
terjadi mengena kapal-kapalnelayan asing yang sering ditangkap karena melanggar
ketentuan-ketentuan PP No. 8 tahun 1962. Walaupun dapat merupakan sumber
sengketa dengan negara lain, namun tindakan demikian perlu diteruskan karena
merupakan pelaksaan dari kedaulatan kita atas perairan nusantara.
Yang perlu
diatur adalah prosedur penyelesaian perkara setelah penangkapan kapal nelayan
terjadi, agar supaya tidakterjadi hal-hal yang bisa menjadi sumber sengketa
internasional, atau sebaliknya merendahkan martabat (pretise) kita
sebagainegara. Karena itu tindakan –tindakan pemaksaan(enforcement)
ketentuan-ketentuan PPNo. 8 tahun 1962 terhadap kapal-kapal nelayan asing ini
perlu mendapat perhatian yang lebih besar lagi dari pemerintah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi, berdasarkan perkembangan Hukum
Laut Internasional di Indonesia,yang dituangkan dalam Deklarasi 13 Desember
1957 bahwa :
Segala perairan disekitar, diantara dan
yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk NRI,dengan
tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada
perairanasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak Negara R.I.
Lalu lintas damai di perairan pedalaman
ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan
kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial 12
mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik yang terluar pada
pulau-pulau NRI akan ditentukan dengan UU.
DAFTAR PUSTAKA
-
Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmadja, 1983, Hukum Laut
Internasional, Binacipta,
Bandung.
-
Ramlan.,
SH, MH, 2006, Hukum Laut Internasional,jambi.
[1] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum
Laut Internasional, cet 2, Binacipta, Bandung, 1983,hal.187
[2] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum
Laut Internasional, cet 2, Binacipta, Bandung, hal 188
[3] Perlu dijelaskan, bahwa Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 dan UU
4/Prp/1960 merupakan tindakan sepihak yang hanya berlaku sebai suatu keputusan
yang memerlukan perjuangan lebih lanjut untuk menjadi suatu prinsip hukum atau
kaedah hukum positif yang diakui oleh masyarakat internasional. Perjuangan
bangsa Indonesia di dalam konferensi Hukum Laut 1958 dan 1960 untuk memperoleh
pengakuan dunia internasional gagal atau tidak mendapat dukungan dan respon
positif dari berbagai negara, terutama negara-negara besar seperti Amerika
danChina untuk mewujudkan tujuan tsb, Indonesia melakukan perjanjian-perjanjian
bilateral dengan negara-negara tetangga, seperti dengan Muangthai (1975), India
(1977), segitiga Muangthai dan India (1978) dan Papua Nugini (1980)
[4] Yang ada hanya alur lintas kapal penangkap ikan asing. Kep. MenHankam,
No. KSP/17/IV/1975 tnggal 22-01-1975
Tidak ada komentar:
Posting Komentar